INFORMASI SEPUTAR DANA MBOJO

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 26 Juli 2013

SEJARAH KOTA BIMA

SejaRah Kota Bima

Bima atau yang disebut juga dengan Dana
Mbojo telah mengalami perjalanan panjang dan
jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut
Legenda sebagaimana termaktub dalam Kitab
BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan
Bima), kedatangan salah seorang musafir dan
bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di Pulau
Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-
Raja Bima dan menjadi permulaan masa
pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini.
Pada masa itu, wilayah Bima terbagi dalam
kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut
Ncuhi. Nama para Ncuhi terilhami dari nama
wilayah atau gugusan pegunungan yang
dikuasainya.
Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam
sebuah Federasi Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara yang
menguasai wilayah Bima bagian tengah atau di
pusat Pemerintah. Ncuhi Parewa menguasai
wilayah Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo
menguasai wilayah Bima bagian Barat, Ncuhi
Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian
Timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah
Utara. Federasi tersebut sepakat mengangkat
Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure,
Sang Bima menerima pengangkatan tersebut,
tetapi secara de Facto ia menyerahkan kembali
kekuasaannya kepada Ncuhi Dara untuk
memerintah atas namanya.
Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang
Bima yang bernama Indra Zambrut dan Indra
Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrutlah
yang menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu
Bima memasuki Zaman kerajaan. Pada
perkembangan selanjutnya menjadi sebuah
kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam
percaturan sejarah dan budaya Nusantara.
Secara turun temurun memerintah sebanyak
16 orang raja hingga akhir abad 16.
Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada
Nusantara antara abad 16 hingga 17 Masehi.
Pengaruhnya sagat luas hingga mencakar tanah
Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi
dan tonggak sejarah peralihan sistem
pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan.
Ditandai dengan dinobatkannya Putera
Mahkota La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata
Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti
nama menjadi Sultan Abdul Kahir (kuburannya
di bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu
Bima memasuki peradaban kesultanan dan
memerintah pula 15 orang sultan secara turun
menurun hingga tahun 1951.
Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga
abad lamanya. Sebagaimana ombak dilautan,
kadang pasang dan kadang pula surut. Masa-
masa kesultanan mengalami pasang dan surut
disebabkan pengaruh imperialisme dan
kolonialisme yang ada di Bumi Nusantara. Pada
tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14
yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima
memasuki Zaman kemerdekaan dan status
Kesultanan Bima pun berganti dengan
pembentukan Daerah Swapraja dan swatantra
yang selanjutnya berubah menjadi daerah
Kabupaten.
Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di
mekarkan sesuai amanat Undang-undang
Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan
wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah
yang terhampar di ujung timur pulau sumbawa
ini terbagi dalam dua wilayah administrasi dan
politik yaitu Pemerintah kota Bima dan
Kabupaten Bima. Kota Bima saat ini telah
memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan.
Sebagai sebuah daerah yang baru terbentuk,
Kota Bima memiliki karakteristik
perkembangan wilayah yaitu: pembangunan
infrastruktur yang cepat, perkembangan sosial
budaya yang dinamis, dan pertumbuhan jumlah
penduduk yang tinggi.
Sudah 10 tahun ini Kota Bima dipimpin oleh
seorang Walikota dengan peradaban Budaya
Dou Mbojo yang sudah mengakar sejak jaman
kerajaan hingga sekarang masih dapat terlihat
dalam kehidupan masyarakat Kota Bima dalam
kesehariannya. Baik sosial, Budaya dan Seni
tradisional yang melekat pada kegiatan
Upacara Adat, Prosesi Pernikahan, Khataman
Qur”an, Khitanan dan lain-lain serta bukti-
bukti sejarah Kerajaan dan Kesultanan masih
juga dapat dilihat sebagai Situs, Kepurbakalaan
dan bahkan menjadi Objek Daya Tarik Wisata
yang ada di Kota Bima dan menjadi objek
kunjungan bagi wisatawan lokal, nusantara
bahkan mancanegara.
Sumber daya alam Kota Bima juga memiliki
daya tarik tersendiri sebagai Obyek Daya Tarik
Wisata karena letak Kota Bima berada di bibir
Teluk yang sangat indah yang menawarkan
berbagai atraksi wisata laut dan pantai seperti;
berenang, berperahu, memancing, bersantai,
melihat kehidupan masyarakat nelayan serta
menikmati makanan khas desa tradisional
nelayan. Disisi lain alam dan hutan serta
hamparan sawah yang luas juga dapat dilihat di
Kota Bima.
Suku asli masyarakat Kota Bima adalah suku
Bima atau dikenal dalam bahasa lokal nya “Dou
Mbojo” dengan mayoritas beragama islam
dengan mata pencaharian nya Bertani,
Bertenak, Melaut dan sebagian Pegawai Negeri
Sipil. Salah satu ke-unikan Kota Bima adalah
sebagian dari masyarakat nya juga berasal dari
berbagai suku dan etnik di indonesia seperti;
Jawa, Sunda, Timor, Flores, Bugis, Bajo,
Madura, Sasak (Lombok), Bali, Minang dan
Batak sehingga memberi warna tersendiri
didalam keseharian mereka di Kota Bima (suku-
suku ini selalu memeriahkan upacara dan
pawai pada hari-hari besar di Kota Bima)
dengan hidup berdampingan secara rukun dan
damai serta suasana kondusif

Kamis, 25 Juli 2013

SEJARAH SINGKAT KOTA BIMA NTB

Kabupaten Bima Adalah Sebuah Kabupaten di
Nusa Tenggara Barat IndoneSia Ibu Kotanya
ialah Woha

SEJARAH SINGKAT

Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli
1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan
sebagai Sultan Bima I yang menjalankan
Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam.
Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari
Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-
bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di
Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu
Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun
Padende Kecamatan Donggo menunjukkan
bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia.

Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia
terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa
Melayu baru. Demikian pula halnya dengan
penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten
Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou
Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan
pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga
terdapat penduduk pendatang yang berasal
dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura,
Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Kerajaan Bima

Kerajaan Bima dahulu terpecah–pecah dalam
kelompok-kelompok kecil yang masing-masing
dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang
menguasai lima wilayah, yaitu:
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan
wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan
wilayah Bima Selatan
3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan
wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan
wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan
wilayah Bima Timur
Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara
damai, saling hormat menghormati dan selalu
mengadakan musyawarah mufakat bila ada
sesuatu yang menyangkut kepentingan
bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut yang
bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya
adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa
berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh
seorang utusan yang berasal dari Jawa.
Menurut legenda yang dipercaya secara turun
temurun oleh masyarakat Bima, cikal bakal
Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata
yang mempunyai 5 orang putra, yaitu:
Darmawangsa
Sang Bima
Sang Arjuna
Sang Kula
Sang Dewa

Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni
Sang Bima berlayar ke arah timur dan
mendarat di sebuah pulau kecil di sebelah
utara Kecamatan Sanggar yang bernama
Satonda. Sang Bima inilah yang
mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu
kerajaan, yakni Kerajaan Bima dan Sang Bima
sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak
saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang
berdasarkan Hadat dan saat itu pulalah Hadat
Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh
rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus
menerus dan mengalami perubahan pada masa
pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah
menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan
berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan
Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan
selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara
hingga putra Sang Bima yang bernama Indra
Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali
ke Bima pada abad XIV/XV.

Hubungan darah antara Bima, Bugis dan
Makassar

Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang
terjalin selama kurun waktu 1625–1819 (194
tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan
kekeluargaan antara dua kesultanan besar di
kawasan Timur Indonesia, yaitu Kesultanan
Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai
pada turunan yang ke VII. Hubungan ini
merupakan perkawinan silang antara Putra
Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota
Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke VI,
sedangkan yang ke VII adalah pernikahan Putri
Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota
Kesultanan Gowa.
Ada beberapa catatan yang ditemukan, bahwa
pernikahan Salah satu Keturunan Sultan
Ibrahim (Sultan Bima ke XI) masih terjadi
dengan keturunan Sultan Gowa, sebab pada
tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan
Ibrahim), terjadi acara melamar oleh
Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar
pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai
yang dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad
17. [rujukan? ]
↑Kembali ke bagian sebelumnya

Geografi

Letak
Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah
Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa
bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari
Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima
berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur
Timur dan 70°30” Lintang Selatan.
[1] TOPOGRAFI

Secara topografis wilayah Kabupaten Bima
sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi
bertekstur pegunungan sementara sisanya (30%
) adalah dataran. Sekitar 14% dari proporsi
dataran rendah tersebut merupakan areal
persawahan dan lebih dari separuh merupakan
lahan kering. Oleh karena keterbatasan lahan
pertanian seperti itu dan dikaitkan
pertumbuhan penduduk kedepan, akan
menyebabkan daya dukung lahan semakin
sempit. Konsekuensinya diperlukan
transformasi dan reorientasi basis ekonomi
dari pertanian tradisional ke pertanian
wirausaha dan sektor industri kecil dan
perdagangan. Dilihat dari ketinggian dari
permukaàn laut, Kecamatan Donggo merupakan
daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari
permukaan laut, sedangkan daerah yang
terendah adalah Kecamatan Sape dan Sanggar
yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari
permukaan laut.

Di Kabupaten Bima terdapat lima buah gunung,
yakni:
GUNUNG TAMBORA DI KECAMATAN TAMBORA
GUNUNG SANGIANG dI KECAMATAN WERA
GUNUNG MARIA dI KECAMATAN WAWO
GUNUNG LAMBITU di Kecamatan LAMBITU
Gunung SOROMANDI di Kecamatan DONGGO,
merupakan gunung tertinggi di wilayah ini
dengan ketinggian 4.775 m.

BATAS WILAYAH

Kabupaten Bima terletak di bagian timur Pulau
Sumbawa dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut:
Utara
Laut Flores
Selatan
Samudera Indonesia
Barat
Kabupaten Dompu
Timur
Selat Sape
Pemekaran 2007
Pada tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah
dengan penambahan 4 kecamatan baru, yaitu:
1. Parado
2. Lambitu
3. Soromandi
4. Pali'belo
Dengan adanya pemekaran ini, sekarang
Kabupaten Bima memiliki jumlah kecamatan
sebanyak 18 wilayah.

LUAS WILAYAH

Luas wilayah setelah pembentukan Daerah Kota
Bima berdasarkan Undang-undang Nomor 13
tahun 2002 adalah seluas 437.465 Ha atau
4.394,38 Km² (sebelum pemekaran 459.690 Ha
atau 4.596,90 Km²) dengan jumlah penduduk
419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata 96
jiwa/Km².

IKLIM & CUACA

Wilayah Kabupaten Bima beriklim tropis
dengan rata-rata curah hujan relatif pendek.
Keadaan curah hujan tahunan rata-rata tercatat
58.75 mm, maka dapat disimpulkan Kabupaten
Bima adalah daerah berkategori kering
sepanjang tahun yang berdampak pada kecilnya
persediaan air dan keringnya sebagian besar
sungai. Curah hujan tertinggi pada bulan
Februari tercatat 171 mm dengan hari hujan
selama 15 hari dan musim kering terjadi pada
bulan Juli, Agustus dan September dimana tidak
tejadi hujan. Kabupaten Bima pada umumnya
memiliki drainase yang tergenang dan tidak
tergenang. Pengaruh pasang surut hanya seluas
1.085 Ha atau 0,02% dengan lokasi terbesar di
wilayah pesisir pantai. Sedangkan luas lokasi
yang tergenang terus menerus adalah seluas
194 Ha, yaitu wilayah Dam Roka, Dam Sumi
dan Dam Pelaparado, sedangkan Wilayah yang
tidak pernah tergenang di Kabupaten Bima
adalah seluas 457.989 Ha.

ADAT & KESENIAN BUDAYA BIMA

Pacuan Kuda atau dalam bahasa Bima disebut
“Pacoa Jara” tampaknya makin marak di Bima.
Paling tidak pacuan kuda diselenggarakan 2 kali
setahun, yaitu pada hari-hari besar seperti
Hari Proklamasi (Agustus) dan Hari Pemuda
(Oktober). Pacuan kuda ini dilaksanakan dalam
bentuk kejuaraan, bahkan melibatkan juga
peserta dari daerah lain, Dompu, Sumbawa,
hingga dari Lombok. Yang menarik, hadiah bagi
jawara pacuan kuda ini tidak sedikit, sehingga
banyak peminatnya. Hadiah pertama antara
lain sebuah sepeda motor + sepasang anak sapi
+ hadiah lainnya. Setiap peserta membayar
biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000,- Jika
ternyata kalah dan keluar, peserta yang
penasaran bisa mendaftar lagi. Nah, untuk satu
periode pacuan, jumlah pendaftar ini bisa
mencapai 800 hingga 1000 peserta! Selain di
Panda, arena pacuan ada juga di kota Bima dan
di Sila

NTUMBU ( ADU KEPALA )

Salah satu budaya bima yang masih bertahan
dan terus dikembnangkan adalah adu kepala.
Buaya dan sekalugus keseniaan ini berlokasi di
Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Tradisi yang
sudah berumur sama dengan keberadaan
daerah bima ini tidak sembarang orang dapat
memainkannya. Hal ini karena perlu dipelajari
secara serius dan mendalam melalui seorang
guru. Sehingga tidak heran, hanya terdiri dari
beberapa orang saja yang mampu memerankan
tradisi tersebut. Belum lama ini digelar budaya
adu kepala di halaman Kantor Bupati Bima dan
mendapat prehatian luas dari masyarakat,
termasuk turis manca negara

Rabu, 24 Juli 2013

ADAT BIMA MBOJO___--- ___ Bima memang unik dengan beragam tarian tradisional baik yang lahir dari Istana maupun di luar Istana. Pada masa lalu, terutama pada zaman ke-emasan. Kesultanan Bima, Seni tari dan atraksi seni budaya tradisioanl merupakan salah satu cabang seni yang sangat populer. Pengembangan seni tari mendapat perhatian dari pemerintah kesultanan. Kala itu, Istana Bima (Asi Mbojo) tidak hanya berfungsi sebagai pusat Pemerintahan namunAsi juga merupakan pusat pengembangan seni dan budaya tradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan Bima yang kedua)yang memerintahkan antara tahun 1640-1682 M, seni budaya tradisional berkembang cukup pesat. Hingga saat ini seiring berjalannya waktu, beberapa seni tari dan atraksi seni budaya tradisional itu masih tetap eksis. Beberapa tarian yang masih dapat di nikmati antar lain;a.Atraksi GantaoJenis tarian ini berasal dari SulawesiSelatan dengan nama asli Kuntao. Namun di Bima diberi nama Gantao. Atraksi seni yang mirip pencak silat ini berkembang pesat sejak abad ke-16 Masehi. Karena pada saat itu hubungan antara kesultanan Bima dengan Gowa dan Makasar sangat erat. Atraksi ini dapat dikategorikan dalam seni Bela diri (silat), dan dalam setiap gerakan selalu mengikuti aturan musik tradisional Bima (Gendang, Gong, Tawa-tawa dan Sarone). Padazaman dahulu setiap acara-acara di dalam lingkungan Istana Gantao selalu digelar dan menjadi ajang bertemunya para pendekar dari seluruh pelosok, hingga saat ini Gantao masih tetap lestari detengah-tengah masyarakat Bima dan selalu digelar pada acara sunatan maupun perkawinan).b.Tari Wura Bongi MoncaSeni budaya tradisional Bima berkembang cukup pesat pada masa pemerintahan sultan Abdul Kahir Sirajuddin, sultan Bima ke-2yang memerintah antara tahun 1640-1682 M. Salah satunya adalah Tarian Selamat Datang atau dalam bahasa Bima dikenal dengan TarianWura Bongi Monca. Gongi Monca adalah beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tarian menabur Beras Kuning kepada rombongan tamu yang datang berkunjung.Tarian ini biasanya digelar pada acara-acara penyabutan tamu baik secara formal maupun informal. Pada masa kesultanan tarian ini biasa digelar untuk menyambut tamu-tamu sultan. Tarian ini dimainkan oleh 4 sampai 6 remaja putri dalam alunan gerakan yang lemah lembut disertai senyuman sambil menabur beras kuning kearah tamu, Karena dalam falsafahmasyarakat Bima tamu adalah raja dan dapat membawa rezeki bagi rakyat dan negeri.c.Tari LenggoTari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo. Lenggo Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung Sumatera Barat yang bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian ini memang khusus diciptakan untuk upacara Adat Hanta UA Pua dan dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule (Pantai Ule sekarang) dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Lenggo Melayu juga dalam bahasa Bima disebut Lenggo Mone karena dibawakan oleh 4 orang remaja pria.Terinspirasi dari gerakan LenggoMelayu, setahun kemudian tepatnyapada tahun 1071 H, Sultan Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo yang diperankan oleh 4 orang penari perempuan. Lenggo Mbojo juga disebut Lenggo Siwe. Nah, jadilah perpaduan Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan Lenggo UA PUA. Tarian Lenggo selalu dipertunjukkan pada saat Upacara Adat Hanta UA PUA terutama pada saat rombongan penghulu Melayu mamasuki pelataran Istana.d.Rawa MbojoSalah satu seni budaya Mbojo yang merupakan ajang hiburan masyarakat tempo dulu adalah Rawa Mbojo. Seni ini adalah salah satu media penyampaian pesan dannasehat yang disuguhkan terutama pada malam hari saat-saat penen sambil memasukkan padi di lumbung. Senandung Rawa Mbojo yang di-iringi gesekan Biola berpadu dengan syair dan pantun yang penuh petuah adalah pelepasan lelah dan pembeli semangat kepada warga yang melakukan aktifitas di tiap-tiap rumah. Sebagai selingan, dihadirkan pula seorang pawang cerita yang membawakan dongeng-dongeng yang menarik dan penuh makna kehidupan.Syair dan senandung Rawa Mbojo didominasi pantun khas Bima yang berisi nasehat dan petuah, kadang pula jenaka dan menggelitik. Ini adalah sebuah warisan budaya tutur yang tak ternilai unuk generasi. Dalam Rawa Mbojo terdapat beragam lirik yang dikenal dengan istilah Ntoro. Ada Ntoko Tambora, Ntoko Lopi Penge, dan Ntoko lainnya. Tiap Ntoko memiliki khas masing-masing. Misalnya Ntoko Tambora dilantunkan dalam syair dan irama yang mengambarkan kemegahan alam. Ntoko Lopi Penge mengambarkan suasana laut dan gelombang. Syair dan pantun yang dilantunkan pun dikemukakan secara spontan sesuaikeadaan. Itulah kelebihan dari para pelantun Rawa Mbojo. Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, namn mereka sangan pawai melantunkannya secara spontanitas.e.Hadrah RebanaJenis atraksi kesenian ini telah berkembang pesat sejak abad ke-16. Hadrah Rebana merupakan jenis atraksi yang telahmendapat pengaruh ajaran islam. Syair lagu yang dinyanikan adalah lagu-lagu dalam bahasa Arab dan biasanya mengandung pesan-pesanrohani. Dengan berbekal 3 buah Rebana dan 6 sampai 12 penari, mereka mendendangkan lagu-lagu seperti Marhaban dan lain-lain. Hadrah Rebana biasa digelar pada acara WA’A CO’I (Antar Mahar), Sunatan maupun Khataman Alqur’an. Hingga saat ini Hadrah Rebana telah berkembang pesat sampai ke seluruh pelosok. Hal yang menggembirakan adalah Hadrah Rebana ini terus berkembang dan dikreasi oleh seniman di Bima. Dan banyak sekalikarya-karya gerakan dan lagu-lagu yang mengiringi permainan HadrahRebana ini.Semua atraksi kesenian dan tari-tarian ini oleh Pemerintah Kota Bima selalu di gelar pada setiap perayaan hari-hari besar daerah, propinsi dan nasional bahkan untukmenyambut para tamu-tamu pemerintahan, wisatawan dan kegiatan-kegiatan ceremonial lainnya yang terpusat di Paruga Nae(tempat khusus pagelaran seni budaya dengan arsitektur khas tradisional rumah adat Bima).